Kontroversi mengenai rangkap jabatan seorang pejabat pemerintahan mengemuka di tahun lalu di saat publik mengetahui bahwa rektor Universitas Indonesia juga merangkap jabatan Komisaris di sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Hal ini karena rektor UI tersebut adalah seorang Aparatur Sipil Negara (ASN), sehingga diskusi saat itu melebar kepada bagaimanakah sejatinya rangkap jabatan pejabat pemerintahan diatur oleh peraturan perundang-undangan.
Khusus untuk kasus rektor UI, sebelumnya memang Pasal 35 PP 68 Tahun 2013 mengatur larangan terhadap Rektor dan Wakil Rektor dalam hal rangkap jabatan, yang salah satunya adalah dilarang menjadi ‘pejabat pada BUMN/D maupun swasta.’ Namun demikian, untuk mengakhiri polemik tersebut, dalam perkembangannya ketentuan terkait larangan tersebut diubah melalui ketentuan Pasal 35 PP 75/2021 sehingga rektor maupun wakil rektor dilarang mempunyai beberapa larangan yang salah satunya adalah menjadi direksi pada BUMN/D maupun swasta.
“Namun bagaimanakah Undang-Undang mengatur rangkap jabatan pejabat pemerintahan di berbagai Kementerian atau Lembaga sebagai Komisaris BUMN?”
Sejatinya praktik adanya rangkap jabatan pejabat pemerintahan sebagai Komisaris BUMN merupakan praktik lama dan telah dianggap sebagai kebiasaan umum. Banyak sekali pejabat pemerintahan di berbagai Kementerian dan Lembaga yang menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT – umumnya pejabat eselon 1 dan 2), juga mendapatkan jabatan sebagai Komisaris di sebuah BUMN. Bagaimanakah Undang-undang mengatur terkait rangkap jabatan tersebut?
Baca Selengkapnya...
Menilik ketentuan Undang-Undang 19 Tahun 2003 tentang BUMN, Pasal 33 dari UU BUMN menyatakan:
Anggota Komisaris dilarang memangku jabatan rangkap sebagai:
(1) anggota Direksi pada BUMN, Badan Usaha Milik Daerah, Badan Usaha Milik Swasta, dan jabatan lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan; dan/atau
(2) jabatan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Melihat ketentuan di atas, rangkap jabatan Komisaris sejatinya tidak bertentangan dengan Pasal 33 UU BUMN sepanjang tidak menimbulkan konflik kepentingan dan diperbolehkan oleh peraturan perundangan-undangan lainnya. Ketentuan ayat (2) di atas mengandung makna sepanjang peraturan perundang-undangan sektoral terkait jabatan pejabat pemerintahan yang dimaksud juga tidak melarang, maka rangkap jabatan ASN sebagai Komisaris juga dimungkinkan. Lalu bagaimanakah batasan dari sebuah konflik kepentingan tersebut?
Berdasarkan ketentuan, Undang-Undang 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, di dalam Pasal 42 dan Pasal 43 UU tersebut intinya mengatur larangan adanya konflik kepentingan di antara Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan serta kaitannya dengan Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan oleh mereka. Dalam hal ini, batasan konflik kepentingan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 14 UU Administrasi Pemerintahan adalah kondisi Pejabat Pemerintahan yang memiliki kepentingan pribadi untuk menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain dalam penggunaan Wewenang sehingga dapat mempengaruhi netralitas dan kualitas Keputusan dan/atau Tindakan yang dibuat dan/atau dilakukannya. Sehingga, sepanjang kedua jabatan tersebut dapat dilaksanakan secara professional, maka rangkap jabatan tersebut tidak memiliki konflik kepentingan satu sama lainnya.
Selain itu, pejabat pemerintahan dalam melaksanakan tugasnya juga harus mematuhi kode etik dan kode prilaku pegawai ASN secara tegas dan jelas telah diatur dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), yang pada prinsipnya bertujuan untuk memastikan agar ASN dalam melaksanakan pekerjaannya secara profesional dan bebas dari konflik kepentingan.
Dalam hal pemberhentian seorang pegawai ASN dikarenakan rangkap jabatan diatur juga dalam ketentuan Pasal 94, Pasal 144, dan Pasal 276 PP 11/2017. Berdasarkan penelusuran ketentuan-ketentuan tersebut, pada prinsipnya tidak terdapat pengaturan yang melarang atau memberhentikan seorang pegawai ASN yang ditunjuk atau merangkap jabatan Komisaris dalam sebuah BUMN.
Dikarenakan fungsi utama pejabat pemerintahan sejatinya adalah untuk melayani publik, maka perlu pula menilik pengaturan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. UU Pelayanan Publik telah mendefinisikan Pelaksana Pelayanan Publik yang selanjutnya disebut Pelaksana adalah pejabat, pegawai, petugas, dan setiap orang yang bekerja di dalam organisasi penyelenggara yang bertugas melaksanakan tindakan atau serangkaian tindakan pelayanan publik. Terkait dengan rangkap jabatan Pelaksana Pelayanan Publik sebagai Komisaris, Pasal 17 Undang-Undang Pelayanan Publik mengatur:
Pasal 17
Pelaksana dilarang:
a. merangkap sebagai Komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah;
b. meninggalkan tugas dan kewajiban, kecuali mempunyai alasan yang jelas, rasional, dan sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
c. menambah pelaksana tanpa persetujuan penyelenggara;
d. membuat perjanjian kerja sama dengan pihak lain tanpa persetujuan penyelenggara; dan
e. melanggar asas penyelenggaraan pelayanan publik.
Ketentuan Pasal 17 huruf a UU Pelayanan Publik di atas pada intinya mengatur larangan bagi Pelaksana Pelayanan Publik yang untuk merangkap sebagai Komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi pelaksana dari lingkungan instansi pemerintah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah.
Berdasarkan pada ketentuan Pasal 17 huruf a UU Pelayanan Publik tersebut memang dari aspek peraturan perundang-undangan “melarang” seorang Pelaksana Pelayanan Publik (dalam hal ini Rektor UI sebagai Pelaksana pelayan publik) untuk merangkap sebagai Komisaris. Namun demikian, apabila ditelisik lebih mendalam ketentuan tersebut merupakan sebuah norma yang kabur mengingat dalam ketentuan Pasal 17 huruf a maupun di dalam penjelasan Pasal 17 huruf a UU Pelayanan Publik tidak secara spesifik menyebutkan jabatan Komisaris dimaksud berkedudukan sebagai Komisaris BUMN/BUMD atau Komisaris pada sektor privat (swasta).
Berdasarkan ketentuan tersebut, Pelaksana Pelayanan Publik yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah, BUMN, dan BUMD dilarang merangkap sebagai Komisaris atau pengurus organisasi usaha. UU Pelayanan Publik tidak menjelaskan secara spesifik apakah larangan merangkap sebagai Komisaris tersebut berlaku pula untuk BUMN sehingga dapat ditafsirkan bahwa ketentuan tersebut berlaku untuk sektor usaha yang sifatnya privat atau ‘swasta.’ Hal ini karena dalam UU Pelayanan Publik, BUMN juga cenderung dipandang sebagai ‘Pelaksana Pelayanan Publik’, sehingga menjadi salah satu subjek dari Undang-Undang tersebut.
Dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang lebih lex specialis (baik yang mengatur ketentuan mengenai ASN ataupun BUMN) tidak ditemukan adanya larangan bagi ASN untuk menjabat sebagai Komisaris BUMN. Sebagai contoh, larangan sebagai Komisaris BUMN juga tidak tertuang dalam daftar larangan untuk PNS yang tercantum dalam Pasal 4 PP 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS. Di dalam PP Disiplin PNS tidak ada larangan secara tegas bagi PNS untuk memiliki saham, atau menjadi anggota direksi maupun Komisaris. Berdasarkan penelusuran UU BUMN, UU ASN, dan UU AP sebagaimana di atas juga tidak ditemukan adanya larangan ASN untuk merangkap sebagai Komisaris sepanjang tidak ada benturan atau konflik kepentingan.
Adanya rangkap jabatan Komisaris BUMN oleh pejabat pemerintahan adalah hal yang wajar dan dipandang tidak mengganggu kinerja pejabat pemerintahan yang bersangkutan. Praktek tersebut sudah berlaku dan terjadi sejak lama. Tujuan dari rangkap jabatan tersebut adalah dalam rangka pengawasan BUMN oleh pemerintah sebagai pemegang saham utama di BUMN tersebut.
Dengan adanya pengawasan tersebut, diharapkan pengelolaan BUMN dapat lebih profesional, mengedepankan transparansi, dan tata kelola yang baik. Selain itu, beberapa BUMN yang bergerak di sektor industri hingga perdagangan sangat membutuhkan pengawasan dari pihak terkait (dalam hal ini pemerintah atau Kementerian/Lembaga teknis terkait sebagai instansi pembina). Praktek yang sama juga dilakukan oleh beberapa negara maju seperti Singapura dan Jepang dalam mengawasi BUMN mereka.
Komisaris tidak bertanggungjawab langsung terhadap operasional BUMN. Urusan operasional perusahaan dipegang oleh direksi BUMN yang bersangkutan. Sementara itu, tugas Komisaris adalah mengawasi dan menilai sejauh mana direksi telah melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya dalam mengelola perseroan, termasuk melakukan pengawasan terhadap perusahaan. Dengan demikian, sejatinya rangkap jabatan Komisaris tidak mengganggu tugas pejabat publik dalam menjalankan pelayanan publik. Pengawasan yang dilakukan oleh Komisaris sekaligus ASN berbeda halnya dengan pekerjaan operasional yang sehari-hari dilakukan oleh jajaran direksi. Komisaris bertugas mengawasi kinerja perseroan secara berkala dan tidak mengganggu tugas utama mereka sebagai pejabat pemerintahan.